Oleh: Arief B. Iskandar
“Jika dakwah tidak berjumpa dengan ragam kesulitan, waspadalah; jangan-jangan kita salah jalan.”
Sejak awal, dakwah para nabi, termasuk dakwah Baginda Rasulullah saw., tidak pernah mulus.
Bahkan terjun ke medan dakwah berarti terjun ke dalam ragam kesulitan.
Karena itu tidak perlu dan tidak layak seseorang menjadi pengemban dakwah jika ia tidak ingin menjumpai ragam kesulitan dalam dakwahnya.
Namun persoalannya, saat tidak berdakwah, apakah berarti kita tidak akan dirundung banyak masalah dn kesulitan? Jelas tidak, karena hidup itu pun masalah.
Karena itu berani hidup harus berani berhadapan dengan masalah.
Tak pernah ada kehidupan yang mulus tanpa masalah dan kesulitan. Begitupun dengan dakwah. Karena itu tepat kata-kata di atas, “Jika dakwah tidak berjumpa dengan ragam kesulitan, waspadala;, jangan-jangan kita salah jalan.”
Problem dakwah itu beragam; ada yang bersifat ideologis, sistemik hingga teknikal.
Tingkat kesulitannya pun bermacam-macam; ada yang ringan, sedang, sulit dan amat kompleks.
Ada juga pengemban dakwah yang acapkali bergulat dengan problem internalnya sendiri; kurang percaya diri, tak menguasai masalah, kurang tsaqafah, tak pandai berkata-kata dan berargumentasi, tak mudah bersosialisasi, banyak mendapatkan kesulitan saat melakukan kontak dakwah, apalagi saat harus menghadirkan banyak orang ke suatu acara dakwah dengan target massa yang sangat besar, dsb.
Belum lagi tantangan dakwah secara eksternal; baik yang datang dari kalangan kaum Muslim sendiri (khususnya kelompok sekular-liberal), rezim penguasa otoriter ataupun kaum kafir yang jelas-jelas memusuhi Islam dan kaum Muslim.
Menghadapi aneka problem dan ragam persoalan dakwah, tentu dengan kadar dan tingkat kesulitan yang kadang berat, haruskah pengemban dakwah bersikap pesimis?
Tentu tidak.
Seorang Muslim sejati, apalagi pengemban dakwah sejati, seharusnya senang dan bergembira saat dihadapkan pada banyak kesulitan, termasuk dalam berdakwah.
Bahkan kesulitan (baca: tantangan) harusnya terus “dicari”.
Mengapa? Alasannya sederhana.
Karena Allah SWT sendiri telah berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا، إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Sungguh bersama kesulitan itu ada kemudahan; sungguh bersama kesulitan itu ada kemudahan (TQS al-Insyirah [94]: 5).
Menarik sekali, dalam ayat di atas Allah SWT menggunakan kata ma’a (bersama), bukan ba’da (sesudah).
Dengan demikian ayat di atas lebih tepat diterjemahkan dengan, “Sungguh bersama kesulitan itu ada kemudahan,” bukan, “Sungguh sesudah kesulitan ada kemudahan.”
Mengapa demikian? Alasannya, sebagaimana dinyatakan oleh Imam ar-Razi dalam Mafâtîh al-Ghayb, karena jarak waktu antara kesulitan dan kemudahan itu sangat pendek sehingga seolah keduanya susul-menyusul, berbarengan, beriringan atau bahkan berdampingan.
Selain itu Imam ar-Razi menukil sebuah hadis qudsi sebagaimana dituturkan oleh Ibn Abbas ra. bahwa Rasul saw. pernah bersabda, “Allah SWT telah berfirman: Khalaqtu ‘usr[an] bayna yusrayn.
Fala yaghlibu ‘usyr[un] yusrayn (Aku telah menciptakan satu kesulitan di antara dua kemudahan.
Karena itu tidak akan pernah satu kesulitan bisa mengalahkan dua kemudahan).”
Ini sejalan dengan sabda Rasul saw. yang lain, sebagaimana dituturkan oleh Muqatil ra., “Tidak akan pernah satu kesulitan bisa mendominasi dua kemudahan.” (Lihat: Ar-Razi, Mafatih al-Ghayb, XVII/92).
SubhânalLâh! Makna ini sangat dalam. Seharusnya siapapun yang ditimpa kesulitan tidak perlu risau apalagi galau karena pasti kesulitan itu datang bersamaan dengan—atau didampingi dan dikawal oleh—dua kemudahan.
Imam az-Zamakhsyari bahkan menyatakan bahwa frasa inna ma’a dalam ayat di atas berfungsi li ash-shuhbah (untuk menunjukkan makna kedekatan dan keakraban).
Seolah-olah kesulitan itu “bersahabat” dengan kemudahan; di mana ada satu kesulitan maka di situ pasti ada dua kemudahan; bukan hanya satu kemudahan, sebagaimana dijelaskan di atas.
Karena itulah sejatinya kita bukan saja siap menghadapi kesulitan, tetapi bahkan kesiapan itu harus disertai dengan optimisme dan kegembiraan karena pasti dalam waktu yang singkat akan hadir dua kemudahan.
Karena itu pula tidak aneh jika banyak ulama dulu yang seolah-olah berharap musibah datang kepada mereka. Pasalnya, mereka amat yakin, di balik kesulitan menghadapi musibah yang menimpa mereka, Allah SWT telah menyediakan karunia terindah untuk mereka: kemudahan demi kemudahan.
Jadi, buanglah segala sikap pesimis, kerisauan dan kegalauan dalam menghadapi kesulitan apapun. Justru saat kesulitan menghadang, yang harus ditanamkan selalu dalam jiwa kita adalah sikap optimis, yakin bahwa kemudahan akan segera datang. Jika satu kesulitan dikawal dengan dua kemudahan maka dua kesulitan akan dikawal dengan empat kemudahan; tiga kesulitan akan dikawal dengan enam kemudahan; dst.
Alhasil, kita semestinya selalu yakin, makin banyak kesulitan yang menghadang dakwah, akan makin lebih banyak lagi kemudahan yang Allah SWT karuniakan kepada kita.
Pada akhirnya, kesulitan demi kesulitan—yang tentu dikawal oleh kemudahan demi kemudahan yang lebih banyak—akan makin mempercepat kita menuju kemenangan; meraih nashsrulLâh dengan tegaknya Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. AlLâhu akbar! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar