Kamis, 28 Desember 2017

Dakwah adalah poros hidupku


Hidup Rasulullah saw sejak diutus menjadi Rasul semua untuk dakwah Islam, untuk menegakkan Islam di muka bumi ini. Begitupun para sahabat dan harusnya kita juga umat Nabi Muhammad saw. 

Seluruh tenaga, pikiran, ide, kekayaan, harta , semua dicurahkan demi ISLAM. Kita lihat pengorbanan para sahabat para pejuang Islam yang telah wafat begitu hebatnya mereka korbankan harta dan jiwa demi tegaknya Islam.

Mereka tidak berlomba-lomba mengejar dunia yang fana, karena mereka lebih memilih Akhirat yang kekal selamanya. Mereka menjadikan dunia hanya sebagai sarana tempat ia menanam, dan hasilnya akan dituai di Akhirat kelak.  

Islam bisa tersebar hingga kekuasaanya 2/3 dunia itu karena dakwah Islam dan pertolongan dari Allah. Namun pertolongan Allah hanya akan datang jika kita mau menolong agama Allah swt. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Artinya : “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad : 7)

  • Dalam berdakwah kita juga tidak boleh ngawur , aktivitas kita semua dihisap oleh Allah dan senantiasa harus terikat pada aturan Allah swt (Syariat Islam). 

Amal soleh dakwah ini juga harus dilandasi pondasi tauhid pondasi Aqidah yang kokoh, pemahaman syariat Islam secara kaffah, dan juga IKLAS semata-mata mengharap ridho Allah. 

Tidak peduli kata manusia  yang menghalangi dakwah, yang ada hanya kata Allah dan Rasulullah saw . 

 “Diallah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci”. (QS. As Shaff: 9)








Bagaimana Islam Memuliakan Harta dan Jiwamu? - Ustadz Ade Sudiana, Lc.



Harta dan Jiwa kita mulia itu seperti apa? Dan bagaimana Islam memuliakannya? Masya Allah secara detil Ustadz Ade Sudiana, Lc. Kupas disini.


Rabu, 29 November 2017

Khilafah |Ust. Oemar Mita Lc.|Masjid As-Salam,130817


Beliau bersabda:

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ ا للهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَّرِيًّا ، فَتَكُوْنَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، ثُمَّ سَكَتَ

“Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah aala minhaj nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam.” (HR Ahmad; Shahih).

Bentuk Pemerintahan dan Tahapannya Menurut Nabi saw 
Secara urut, bentuk dan perubahan sistem pemerintahan yang akan terjadi adalah:

1.Masa pemerintahan yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad yang disebut sebagai masa Kenabian. Periode ini berakhir dengan wafatnya beliau.

2.Periode Khilafah berdasarkan Manhaj Nubuwwah. Masa ini dimulai dengan berdirinya kekhilafahan Abu Bakar sampai wafatnya Ali ra. Sebagian ulama memasukkan pemerintahan Hasan bin Ali ke dalam periode ini. Inilah 30 tahun masa khilafah ala manhaj nubuwwah, seperti disebutkan oleh Nabi saw.

3.Periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit). Yaitu setelah kekhilafahan Hasan bin Ali sampai runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani menjelang abad 20. Awal periode ini adalah akhir periode khilafah rasyidah, atau disebut dalam hadis lain sebagai masa raja-raja. Namun, perlu dicatat bahwa karakter kerajaan ini bersifat global dan tidak menutup kemungkinan adanya raja yang mengikuti sunah dan menerapkan syariat dan jihad fi sabilillah. Seperti yang terjadi pada masa Umar bin Abdul Aziz dan khalifah-khalifah setelahnya. (Majmu’ Al_Fatawa, 35/18)

4.Periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak). Yaitu sejak runtuhnya dinasti Utsmani sampai hari ini. Mencakup seluruh bentuk pemerintahan di dunia Islam, baik kerajaan, warisan, partai, atau rezim kafir terhadap kaum muslimin.

5.Khilafah bermanhaj Nubuwwah.

Minggu, 19 November 2017

Kesadaran Menuju Perubahan-Gus Juned



Perubahan tidak akan terjadi jika kita hanya diam
memang benar Allah bisa mengubah keadaan kita umat Islam yang tertindah dengan kun fayakun  , namun ingat firman Allah.

“SESUNGGUHNYA ALLAH TIDAK AKAN MENGUBAH NASIB SUATU KAUM KECUALI KAUM ITU SENDIRI YANG MENGUBAH APA APA YANG PADA DIRI MEREKA ” QS 13:11

Perlu adanya aktivitas menuju perubahan , perlu adanya kesadaran umum bahwa umat ini sedang terpuruk dan butuh solusi. 

Dan solusi hakiki yang pasti baik adalah sesuai dengan ajaran ISLAM yaitu penegakan syariah secara kaffah dalam bingkai KHILFAH. 

Tanpa Khilafah umat lemah tidak punya pemimpin , tidak punya junnah pelindung, namun perlu diingat bahwa jika kita ingin sukses kita harus mengikuti metode dakwah Rasulullahsaw yang telah terbukti sukses dunia akhirat. 

  
http://thepowerofngaji.blogspot.co.id/2017/04/skema-metode-dakwah-rasulullah.html





WAJIBNYA MENEGAKKAN SYARIAH DALAM BINGKAI KHILAFAH


Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak 
ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163).

Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :

أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه
Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”

Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan, ”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. 

Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34)

  • Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
  • Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu Hazm,Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)

Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.

Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa`: 59)

Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. 

Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)

Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)

Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam).

Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. 

Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah).

  • Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.


Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah: 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.

  • Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :

من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).

Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :
إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).

Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.

Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :
نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين
Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).

Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :
اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله
Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).

  • Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :


ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah: 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).










ulama bicara khilafah














Senin, 16 Oktober 2017

“Rezeki”



“Rezeki”

Apa sebenernya Rezeki itu?
Cara pandang kita terhadap Rezeki dan Konsep Rezeki akan berpengaruh terhadap apa yang kita perbuat, sikap kita dan pola pikir kita
Banyak yang menganggap Rezeki itu apa yang kita peroleh atau apa yang kita miliki
.
Rasulullah Shalallahu’alaihi Wa sallam bersabda :
Seorang anak Adam akan berkata, “Hartaku! Hartaku!” (Allâh pun) berfirman, “Wahai anak adam! Tidaklah engkau mendapatkan sesuatu apapun dari hartamu kecuali apa-apa yang kamu makan kemudian engkau buang serta apa-apa yang engkau kenakan kemudian engkau menjadikannya lusuh atau apa-apa yang engkau sedekahkan kemudian engkau lupakan. (HR. Bukhari Muslim)
.
Dari Hadist tersebut maka Sesungguhnya Rezeki itu
1. Apa yang kita makan
2. Apa yang kita Gunakan
3. Apa yang kita sedekahkan
.
Namun terkadang seseorang Banyak membuang Waktunya yang katanya “Mencari Rezeki”
Sampai lupa Tugas Utamanya sebagai manusia
Fokus terhadap hasil, yang akan membuat seseorang kecewa, stres karena tidak sesuai dengan kerja kerasnya
Padahal Hasilnya sudah menjadi Qadla’
Sedangkan Cara kita memperolehnya yang akan dipertanggung jawabkan
.
Aneh jika melihat orang mengumpulkan Harta hingga dia pun tidak pernah menikmatinya karena terus sibuk terus Bekerja sehingga Mengabaikan Hak Allah
Iya klo cara mendapatkan nya benar, kalo g?
Udah capek kerja keras, tidak menikmati hasilnya, malah orang lain yang menikmatinya
Tapi hanya kita nntinya yg akan mempertanggung jawabkan cara memperolehnya
.
Semoga kita dijauhkan dari sibuknya Dunia dan dijauhkan dari Rezeki yang Haram, subhat dan tidak berkah. Aamiiin

.
Upload bersama
@instanusantara
#instanusantara
#instanusantaradiy
#inub1553
#indiy1553
.

.
.

Inframe : @syandika.bahari
🚩 Gumuk Pasir Parangkusumo, Bantul D.I.Yogyakarta

Apa Itu Khilafah dan Khalifah?


Apa Itu Khilafah dan Khalifah? Khilafah yang merupakan sebuah sistem pemerintahan dari Islam. Sejatinya, khilafah saat ini belum tegak dan akan tegak kembali, karena Allah SWT sudah memiliki janji bahwa khilafah akan tegak.
Pengertian Khilafah, sebagai sebuah istilah politik maupun sistem pemerintahan, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru.
Hanya saja, keterputusan kaum Muslim dengan akar sejarah masa lalu merekalah yang menjadikan Khilafah ‘asing’, bukan hanya dalam konteks sistem pemerintahan mereka, tetapi bahkan dalam kosakata politik mereka.
Kalaupun sebagian kalangan Muslim mengakui eksistensi Khilafah dalam sejarah, gambaran mereka tentang Khilafah bias dan beragam. Ada yang menyamakan Khilafah dengan kerajaan. Ada yang menganggap Khilafah sebagai sistem pemerintahan otoriter dan antidemokrasi.
Ada yang memandang Khilafah sama dengan sistem pemerintahan teokrasi. Ada juga yang menilai Khilafah sebagai sistem pemerintahan gabungan antara demokrasi dan teokrasi.
Ketika dijelaskan bahwa sistem pemerintahan Khilafah bukan monarki (kerajaan), bukan republik, bukan kekaisaran (imperium) dan bukan pula federasi, sebagian kalangan Muslim sendiri malah ada yang menyindir, bahwa kalau begitu, Khilafah adalah sistem pemerintahan yang ‘bukan-bukan’.
Sikap demikian wajar belaka mengingat:
(1) Umat sudah lama hidup dalam sistem pemerintahan sekular;
(2) Pendidikan politik di bangku-bangku akademis/lembaga pendidikan selalu hanya mengenalkan model-model pemerintahan tersebut—monarki, republik, imperium atau federasi—tanpa pernah memasukkan sistem Khilafah sebagai salah satu model pemerintahan di luar model mainstream tersebut;
(3) Jauhnya generasi umat Islam saat ini dari akar sejarah masa lalu mereka, termasuk sejarah Kekhilafahan Islam yang amat panjang, lebih dari 13 abad.
Tulisan berikut, meski serba ringkas, ingin mengenalkan apa itu Khilafah. Tidak lain agar kita sedikit-banyak mengenal hakikat Khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan Islam yang khas, yang berbeda dengan semua sistem pemerintahan di dunia saat ini.
Definisi Pengertian Khilafah Islamiyah
Khilafah secara bahasa.
Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa, yang berarti: menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390).
Khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan posisinya (Al-Mu‘jam al-Wasîth, I/251. Lihat juga: Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, I/882-883)
Jadi, menurut bahasa, khalîfah adalah orang yang mengantikan orang sebelumnya. Jamaknya, khalâ’if atau khulafâ’. Inilah makna firman Allah Swt.:
وَقَالَ مُوسَى لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي
Berkata Musa kepada saudaranya, Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku.” (QS al-A’raf [7]: 142).
Menurut Imam ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-a’zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, I/199).
Khilafah menurut syariah.
Kata khilâfah banyak dinyatakan dalam hadis, misalnya:
إنَّ أَوَّلَ دِيْنِكُمْ بَدَأَ نُبُوَّةً وَرَحْمَةً ثُمَّ يَكُوْنُ خِلاَفَةً وَرَحْمَةً ثُمَّ يَكُوْنُ مُلْكاً جَبَرِيَةً
Sesungguhnya (urusan) agama kalian berawal dengan kenabian dan rahmat, lalu akan ada khilafah dan rahmat, kemudian akan ada kekuasaan yang tiranik. (HR al-Bazzar).
Kata khilâfah dalam hadis ini memiliki pengertian: sistem pemerintahan, pewaris pemerintahan kenabian. Ini dikuatkan oleh sabda Rasul saw.:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُم الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
Dulu Bani Israel dipimpin/diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, nabi lain menggantikannya. Namun, tidak ada nabi setelahku, dan yang akan ada adalah para khalifah, yang berjumlah banyak. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi saw. dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (Al-Baghdadi, 1995:20).
Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226. Lihat juga: Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, IX/823).
Banyak sekali definisi tentang Khilafah—atau disebut juga dengan Imamah—yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Khilafah adalah kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Al-Qalqasyandi,Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma‘âlim al-Khilâfah, I/8).
Imamah (Khilafah) ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 3).
Khilafah adalah pengembanan seluruh urusan umat sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka, baik ukhrawiyah maupun duniawiyah, yang kembali pada kemaslahatan ukhrawiyah (Ibn Khladun Al-Muqaddimah, hlm. 166 & 190).
Imamah (Khilafah) adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Al-Juwaini,Ghiyâts al-Umam, hlm. 15).
Dengan demikian, Khilafah (Imamah) dapat didefinisikan sebagai:kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Definisi inilah yang lebih tepat. Definisi inilah yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir (Lihat: Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, Qadhi an-Nabhani dan diperluas oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum, Hizbut Tahrir, cet. VI [Mu’tamadah]. 2002 M/1422 H).
Dalam buku yang dikeluarkan Hizbut Tahrir berjudul, Azhijah ad-Dawlah al-Khilâfah (Libanon: Beirut, 2005), perbedaan sistem pemerintahan Khilafah dengan non-Khilafah disebutkan sebagai berikut.
Khilafah bukan monarki (kerajaan).
Khilafah bukan kekaisaran (imperium).
Khilafah bukan federasi.
Khilafah bukan republik.
Khilafah: Sisitem Pemerintahan Khas
Sesungguhnya struktur negara Khilafah berbeda dengan struktur semua sistem yang dikenal di dunia saat ini, meski ada kemiripan dalam sebagian penampakannya.
Struktur negara Khilafah diambil (ditetapkan) dari struktur negara yang ditegakkan oleh Rasulullah saw. di Madinah setelah beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan Negara Islam di sana.
Struktur negara Khilafah adalah struktur yang telah dijalani oleh Khulafaur Rasyidin setelah Rasulullah saw. wafat.
Dengan penelitian dan pendalaman terhadap nash-nash yang berkaitan dengan struktur negara itu, jelaslah bahwa struktur negara Khilafah adalah:
1. Khalifah;
2. Para Mu’âwin at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh);
3. Wuzarâ’ at-Tanfîdz;
4. Para Wali;
5. Amîr al-Jihâd;
6. Keamanan Dalam Negeri;
7.Urusan Luar Negeri;
8. Industri;
9. Peradilan;
10. Mashâlih an-Nâs(Departemen-departemen);
11. Baitul Mal;
12. Lembaga Informasi;
13. Majelis Umat (Syûrâ dan Muhâsabah).
Janji Allah Tentang Khilafah, Janji Tegaknya Khilafah
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam. (HR Ahmad dan al-Bazar). [Arief B. Iskandar,





berkata tentang kebenaran



ORANG YANG MENCARI RIDHA MANUSIA TIDAK AKAN BERANI BICARA YANG BENAR
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:

تركت رضى الناس حتى قدرت أن أتكلم بالحق 
.
"Aku tinggalkan ridha manusia hingga aku mampu untuk berbicara menyampaikan kebenaran." Oleh Imam Ahmad bin Hanbal [Siyar A’lamin Nubala', jilid 11 hlm. 34]
.
.
.
dari ust Ardi Muluk

HARAMNYA MENJADI MUSLIM NETRAL


Oleh: Ust. Farid Nu'man Hasan
Banyak kita jumpai saat ini muslim yang mengambil sikap katanya "netral", "gak mau ambil pusing", "gak mau repot".., tanpa sadar mencari muka dihadapan manusia tapi buang muka dari ridha Allah Ta'ala ...
Saat agamanya dihina, diinjak-injak, nabinya dilecehkan, ayat sucinya dinistakan, semuanya disikapi netral, baik karena khawatir dibilang fanatik, khawatir SARA, dan "gak enak ama non muslim" ... dan alasan-alasan yang dibangun oleh persepsi dan ilusi, bukan iman dan argumentasi ..
Ketahuilah, netral dalam situasi seperti ini dalam Islam disebut syetan bisu ..
Abu Ali Ad Daqaq Rahimahullah mengatakan:
ُ مَنْ سَكَتَ عَن ِالْحَقِّ فَهُوَ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ
"Siapa yang diam saja tidak mengambil sikap bersama Al Haq, maka dia adalah syetan bisu."
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/20)
Ketahuilah, pertarungan Al Haq dan Al Bathil itu abadi selamanya, apakah mau seumur hidup menjadi Muslim abu-abu ..?
Ketahuilah, di akhirat nanti tidak ada muslim netral, yang ada hanyalah golongan kanan dan golongan kiri .. perjelas posisimu!
Ketahuilah, di akhirat nanti dari golongan manusia hanya ada ahli surga dan ahli neraka, bahkan ashhabul a'raf pun akhirnya masuk surga .. perjelas sikapmu! Rencanakan tempatmu!
Ketahuilah, di akhirat itu manusia terbagi menjadi 3 golongan: golongan mukminuun (muslim ta'at), golongan kafiruun (diluar Islam), dan golongan munafiquun (muslim tidak ta'at). Maka golongan kafiruun dan munafiquun akan masuk neraka jahanam, mereka kekal di dasarnya & tidak akan pernah diangkat. (At Taubah:63). Maka yang manakah kamu ...
Ketahuilah, netral itu bukan kemajuan sikap, tapi jumud, kaku, statis, dan jalan di tempat ..
Ketahuilah, hidup di dunia hanya sekali dan mati juga sekali, maka matilah dalam keadaan muslim yang dibanggakan orang-orang beriman dan Rabbmu, matilah di atas jalan yang pernah dititi para pejuang mu'min dan pendahulu yang shalih ..
Perhatikan firman Rabbmu ..
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (Qs. An Nisa: 115)
Wallahu A'lam..

Rabu, 04 Oktober 2017

Ciri-ciri militer yang siap membela Islam, apakah sudah ada?


1. Militer yang siap membela Islam artinya dia siap menjadi Ahlun Nushroh (penolong). Nah aktivitas mencari pertolongan dan dukungan militer ini disebut Tholabun Nushroh.
2. Thalabun-Nushrah adalah aktivitas mencari perlindungan dan kekuasaan yang dilakukan partai politik islam pada penghujung tahapan kedua dakwah atau tahapan berinteraksi dengan umat (at-tafa’ul ma’a al-ummah) . Jadi Thalabun-Nushrah merupakan aktifitas yang dilakukan pada penghujung tahap (marhalah) dakwah kedua (sebelum tahapan dakwah ketiga, pengambilalihan kekuasaan atau marhalah Istilâm al-hukm) . Jadi bukan tahapan dakwah itu sendiri
3. Thalabun Nushroh memilik dua tujuan . 1. Untuk mendapatkan perlindungan atau himayah bagi para pengemban dakwah beserta kegiatan dakwahnya . Ini bisa dilihat ketika Rasulullah mendapatkan jaminan keamanan dari Abu Thalib . 2. Untuk mendapatkan kekuasaan yang akan menegakkan hukum Allah dengan tegaknya Khilafah . Ini bisa dilihat ketika Rasulullah mendapatkan jaminan keamanan untuk penegakkan Negara Islam oleh kaum Anshor di Madinah
4. Dan perlu ditekankan disini bahwa aktifitas Thalabun Nushroh merupakan thoriqoh (metode) dakwah Rosul . Dimana metode ini sudah baku dan tak bisa ditawar lagi . Jadi, thalabun Nushroh bukanlah uslub (cara) dimana bisa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi
5. Oleh sebab itu, siapapun yang ingin menegakkan Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah harus melalui proses ini . Thalabun Nushroh
6. Mari kita lihat perjalanan dakwah Rasulullah saw dalam melakukan aktifitas thalabun Nushroh ini . Beliau memulai melakukannya pada tahun ke-8 kenabian, khususnya setelah wafatnya paman beliau Abu Thalib dan istri beliau Khadijah, dan semakin meningkatnya gangguan fisik dari kaum Quraisy kepada beliau . Rasulullah saw. melakukan thalabun-Nushrah kepada banyak kabilah, baik di kampung kabilah itu sendiri maupun di tempat-tempat mereka saat musim Haji di Makkah
7. Ibnu Saad dalam kitabnya At-Thabaqat menyebutkan 15 kabilah yang didatangi Rasulullah saw. dalam rangka thalabun-Nushrah . Mereka adalah kabilah Kindah, Hanifah, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Kalb, Bakar bin Wail, Hamdan, dan lain-lain . Kepada setiap kabilah Rasulullah saw. mengajak mereka untuk beriman dan memberi Nushrah kepada beliau untuk memberikan kekuasaan demi tegaknya agama Allah
8. Ibn Katsir menyatakan di dalam sirah dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata . Ketika Allah memerintahkan rasul-Nya untuk menyodorkan diri beliau kepada kabilah-kabilah Arab, beliau keluar dan saya dan Abu Bakar bersama beliau ke Mina hingga kami datangi majelis-majelis orang Arab
9. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir dari Ibn Abbas dari al-‘Abbas ia berkata: Rasulullah saw bersabda kepadaku . Saya tidak melihat padamu dan saudaramu perlindungan . Apakah engkau mau menemaniku keluar ke pasar besok, hingga kita berdiam di tempat-tempat singgah kabilah-kabilah orang –dan mereka adalah sekumpulan orang Arab-“ . Al-‘Abbas berkata, “Maka aku katakan, ini Kindah dan kemahnya, dan mereka adalah orang yang terbaik yang menunaikan Haji dari orang Yaman . Ini tempat singgah Bakar bin Wail . Ini tempat singgah Bani Amir bin Sha’sha’ah . Pilihlah untuk dirimu.” Al-‘Abbas berkata: “Maka beliau memulai dengan Kindah dan beliau mendatangi mereka”
10. Dan aktifitas mendatangi kabilah-kabilah ini bukan semata-mata berdakwah kepada mereka agar masuk Islam melainkan juga meminta mereka untuk melindungi dakwah Rasulullah dengan terbentuknya Negara . Jadi keliru kalau ada yang mengatakan aktifitas ini hanya untuk berdakwah semata dan bukan meminta perlindungan untuk menegakkan Negara yang akan menerapkan Syariat Islam
11. Karena itu, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, ketika Rasul saw meminta nushrahnya. Mereka berkata: . “Bagaimana pandanganmu jika kami membai’atmu atas urusanmu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah perkara (kekuasaan) sesudahmu menjadi milik kami? Rasul menjawab, “Perkara (kekuasaan) ada pada Allah, Dia akan serahkan sesuai kehendak-Nya.” Al-‘Abbas berkata: “Maka salah seorang berkata kepada beliau: “Apakah kami dikorbankan orang Arab untuk melidungimu dan jika Allah memenangkanmu, urusan (kekuasaan) untuk selain kami! Kami tidak ada keperluan dengan urusanmu. Lalu mereka menolak beliau”
12. Disini bisa dilihat bahwa mereka mengetahui bahwa nuhsrah tersebut adalah untuk menegakan negara. Maka mereka ingin menjadi penguasanya setelah Rasulullah saw
13. Demikian juga Bani Syaiban berkata kepada Rasul saw ketika beliau meminta nushrahnya: . “Sungguh kami tinggal di antara dua bahaya”. Rasul bersabda: “apakah dua bahaya itu?” Ia berkata: “Sungai Kisra dan perairan al-Arab. Sesungguhnya kami tinggal di atas perjanjian yang diambil oleh Kisra atas kami, bahwa kami tidak membuat insiden dan tidak mendukung pembuat insiden. Dan saya melihat perkara yang engkau minta termasuk apa yang tidak disukai oleh para raja. Jika engkau ingin kami mendukungmu dan menolongmu dari apa yang mengikuti perairan Arab, kami lakukan.” Rasululah saw pun bersabda: “Engkau tidak berlaku buruk dalam menolak, sebab engkau menjelaskan dengan jujur. Dan sesungguhnya agama Allah itu, tidak akan menolongnya kecuali orang yang melingkupinya dari segala sisinya”
14. Jadi mereka memahami bahwa Nushrah itu berarti pemerintahan dan jihad melawan orang Arab dan non Arab . Maka mereka setuju memerangi orang Arab, dan tidak setuju memerangi Persia.
15. Lalu dari mana kita mengetahui bahwa Thalabun Nushroh adalah Thariqah dakwah Rosul dan bukan uslub yang bisa berubah-ubah?
16. Kita bisa melihat dari sikap Rasulullah yang tidak berubah . Penolakan demi penolakan yang datang beruntun silih berganti . Namun, Rasulullah saw. tidak mengubah cara ini dengan cara lain dan terus memegang teguh cara ini dengan gigih walaupun sering menghadapi kegagalan dan penolakan
17. Ini merupakan qarinah (indikasi) yang jazim (tegas) bahwa thalabun-Nushrah yang dilakukan Rasulullah saw. adalah suatu kewajiban dan perintah syar’i, yakni perintah dari Allah SWT, bukan inisiatif Rasulullah saw. sendiri atau sekadar tuntutan keadaan
18. Dari sini pula kita bisa memahami bahwa satu-satunya metode yang sahih untuk mendapatkan kekuasaan dan mendirikan Khilafah adalah thalabun-Nushrah . Bukan dengan cara-cara lain semisal mendirikan masjid, rumah sakit, sekolah atau menolong kaum fakir-miskin dan mengajak pada akhlaqul karimah . Ini semua amal salih, tetapi bukan metode menegakkan Khilafah
19. Metodenya bukan pula dengan mengangkat senjata memerangi penguasa, atau dengan terjun ke politik praktis dengan masuk parlemen atau pemerintahan secular . Bukan pula dengan pengerahan massa (people power) untuk menggulingkan kekuasaan
20. Itu terkait peristiwa Thalabun Nushroh . Sekarang kita akan melihat kepada siapa Nushroh itu diminta dan siapa saja mereka
21. Tentu Nushroh ini diminta dari Ahlun Nushroh atau Ahlul Quwwah . yaitu orang-orang yang berkemampuan untuk memberikan kekuasaan . Mereka bisa jadi adalah orang-orang yang sedang memegang kekuasaan, misalnya panglima militer . Atau bisa jadi tidak sedang memegang kekuasaan, namun memiliki pengaruh yang kuat kepada masyarakat . Misalnya kepala kabilah termasuk aliansi jihad atau Mujahidin yang sudah menguasai satu wilayah penuh

22. Berikut adalah beberapa point penting terkait Ahlun Nushroh
23. Pertama . Ahlun Nushrah haruslah sebuah kelompok (jama’ah), bukan individu. Sebab, Rasulullah saw. hanya meminta Nushrah dari kelompok, bukan dari individu-individu, kecuali individu itu adalah representasi dari sebuah kelompok . Ini bisa dilihat dari Rasulullah saw. mendatangi kabilah Tsaqif di Thaif, yang kedudukan kabilah itu setara dengan Negara . Beliau juga mendatangi Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah sebagai individu-individu yang merepresentasikan sebuah Negara
24. Kedua . Ahlun Nushrah haruslah kelompok yang kuat, yakni berkemampuan menyerahkan kekuasaan, termasuk mampu mempertahan-kan Khilafah kalau sudah berdiri . Rasulullah saw. pernah meminta Nushrah dari kabilah Bakar bin Wail. Namun, Rasulullah saw. kemudian membatalkannya setelah tahu kabilah itu tidak berkemampuan. Rasulullah saw. bertanya kepada kabilah Bakar bin Wail, “Berapa jumlah kalian?” Mereka menjawab, “Banyak, seperti butiran tanah.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Bagaimana kekuatan kalian?” Mereka menjawab, “Tak ada kekuatan (laa mana’ah). Kami bertetangga dengan Persia, tetapi kami tak mampu melindungi kami dari mereka…” Akhirnya Rasulullah saw. hanya mengajak mereka ingat kepada Allah dan mengabarkan kerasulan beliau
25. Ketiga . Ahlun Nushrah wajib orang-orang muslim, tak boleh non-muslim . Beliau meminta mereka beriman lebih dulu, setelah itu baru meminta mereka memberikan perlindungan kepada Rasulullah saw. Ini jika Nushrah yang diminta berupa dukungan untuk memperoleh kekuasaan. Adapun jika untuk kepentingan perlindungan pribadi (himayah syakhshiyah), boleh berasal dari non-muslim, seperti halnya Rasulullah saw. yang mendapat perlindungan dari paman beliau Abu Thalib yang non-muslim
26. Keempat . Ahlun Nushrah haruslah orang-orang yang mendukung syariah dan Khilafah, bukan orang yang memusuhi islam seperti kaum sekular, liberal, dsb . Rasulullah saw. mendapatkan Nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj setelah kedua kabilah itu mendapatkan pengajaran agama Islam dari Mushab bin Umair ra. di Madinah
27. Kelima . Ahlun Nushrah harus berada sepenuhnya di bawah kendali partai politik yang mereka dukung, bukan menjadi kekuatan terpisah di luar kontrol . Ini dapat dilihat dari bagaimana Rasulullah saw. mengendalikan sepenuhnya kabilah Aus dan Khazraj yang memberikan Nushrah . Misalnya, Rasulullah saw. meminta kabilah Aus dan Khazraj untuk memilih 12 orang dari mereka sebagai wakil mereka untuk bermusyawarah dengan Rasulullah saw . Rasulullah saw. juga melarang kabilah Aus dan Khazraj untuk memerangi penduduk Mina . Ini menunjukkan semua urusan Ahlun Nushrah berada sepenuhnya di bawah kendali Rasulullah saw
28. Keenam . Ahlun Nushrah tidak dibenarkan meminta kompensasi atau konsesi tertentu sebagai imbalan melakukan thalabun-Nushrah, misalnya meminta jabatan tertentu setelah Khilafah berdiri . Ini tampak jelas dari penolakan Rasulullah saw. terhadap permintaan kabilah Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah yang mensyaratkan agar setelah Rasululah saw. meninggal kekuasaan diserahkan kepada mereka
29. Ketujuh . Ahlun Nushrah disyaratkan tidak terikat dengan perjanjian internasional yang bertentangan dengan dakwah, sementara mereka pun tak mampu melepaskan diri dari perjanjian internasional itu . Jadi, tak diterima, misalnya, Ahlun Nushrah yang masih terikat dengan perjanjian Camp David dengan AS untuk melindungi Israel . Hal ini karena Rasulullah saw. dulu tidak jadi meminta Nushrah dari kabilah Bani Syaiban, karena mereka masih terikat perjanjian dengan Kerajaan Persia untuk tidak saling menyerang, sedang mereka pun tidak mampu melepaskan diri dari perjanjian itu


.
.
.
.
.
.
Share agar saudara semuslim lainnya mengetahui informasi ini . Ini pula bagian dari dakwah . Siapa tahu ada dari pihak Ahlul Quwwah yang membaca ini dan tercerahkan sebagaimana tanggungjawab mereka terhadap Umat dan Agama Allah ini.
.

.
Copas dari ust. Syamsul Arifin


KALAU BUKAN KHILAFAH, LALU DENGAN APA LAGI?

Oleh: Ahmad Sudrajat (Khadim Majlis Sirah Shahabat) Yasir bin Amir berangkat meninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui s...