Sabtu, 28 April 2018

PARTAI ALLAH’ VS ‘PARTAI SETAN

‘PARTAI ALLAH’ VS ‘PARTAI SETAN



by Kaffah Publishing

Dalam sepekan terakhir ini, salah satu isu di media sosial yang cukup menyita perhatian publik adalah isu di seputar ‘Partai Allah’ vs ‘partai setan’. Kedua istilah ini tiba-tiba dimunculkan oleh tokoh nasional sekaligus tokoh reformasi, Amien Rais. Pernyataan Amien Rais ini kemudian menimbulkan reaksi dari sebagian tokoh lain.

Sebagaimana diketahui, dalam bahasa Arab ‘Partai Allah’ disebut dengan HizbulLâh. Adapun ‘partai setan’ disebut dengan hizbusy-syaythân. Keduanya sebetulnya digunakan oleh al-Quran. Artinya, penyebutan kedua istilah ini oleh Amien Rais bukanlah perkara baru. Hanya orang-orang yang tak pernah membaca al-Quran saja yang tidak mengenal kedua istilah ini. Lalu apa makna dari kedua istilah ini menurut al-Quran?

Makna Hizb dalam al-Quran

Secara bahasa kata hizb memiliki banyak arti. Al-Hizb bisa bermakna ath-thâ‘ifah (kelompok) (Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, I/56).

Al-Hizb juga bisa berarti wirid, jamâ’ah min an-nâs (sekelompok orang), an-nashîb (bagian), an-nûbah (bencana), ash-shinfu min an-nâs (sekelompok manusia). Ibnu al-’Arabi berkata, al-hizb adalah al-jamâ’ah (Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, I/308).

Namun, kata hizb ini telah digunakan oleh para ahli bahasa untuk menyebut realita yang lebih spesifik. Ibnu Manzhur menyatakan, hizb ar-rajul adalah sahabat seseorang dan pasukannya, yaitu orang-orang yang sepakat dan berpegang pada pendapatnya (Lisân al-‘Arab, I/308).

Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya, Mafâtîh al-Ghayb, berkata, “Hizb adalah teman-teman seseorang yang berada bersama dia karena sepakat (berpegang) dengan pendapatnya. Mereka adalah sekelompok orang yang berkumpul guna menjalankan urusan partai yang menyatukan mereka.”

Hizb dan jamâ’ah memiliki konotasi yang sama. Hanya saja, hizb (partai) konotasinya lebih khusus dari jamaah. Pasalnya, partai memiliki ikatan yang mengikat antar individunya. Mereka berhimpun pada satu pemikiran yang menyatukan mereka.

Dalam al-Quran kata hizb disebut sebanyak tujuh kali di dalam lima ayat. Dua kata hizb digunakan untuk menyebut pengikut para nabi terdahulu yang memecah-belah agama mereka menjadi golongan-golongan (ahzâb). Setiap hizb (golongan) berbangga dengan apa yang ada pada mereka (QS al-Mu‘minun [23]: 53 dan ar-Rum [30]: 32).

Adapun lima kata hizb yang lain, tiga di antaranya disandarkan pada kata Allah (QS al-Ma‘idah [5]: 56 dan al-Mujadilah [58]: 22) dan dua yang lain disandarkan pada kata setan (QS al-Mujadilah [58]: 19).

Partai Allah

Allah SWT mendeskripsikan HizbulLâh (Partai Allah) dalam firman-Nya:

وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ

Siapa saja yang menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh pengikut/partai (agama) Allah itulah yang pasti menang (TQS al-Maidah [5]: 56).

Terkait ayat di atas Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, menjelaskan bahwa siapa yang mempercayakan urusannya kepada Allah, meneladani perbuatan Rasulullah saw. dan berwali kepada kaum Muslim maka ia menjadi bagian dari HizbulLâh (Partai Allah). Mereka termasuk termasuk orang yang melaksanakan ketaatan kepada Allah serta menolong Rasul-Nya dan kaum Mukmin. Sesungguhnya HizbulLâh itulah yang pasti menang.

Abu Rauq berkata, HizbulLâh adalah Awliyâ‘ulLâh (para wali Allah). Abu al-’Aliyah berkata, mereka adalah Syi’atulLâh (pengikut [agama] Allah). Sebagian mereka berkata, mereka adalah AnshârulLâh (para penolong [agama] Allah). Al-Akhfasy berkata, mereka adalah orang-orang yang beragama dengan agama Allah dan mereka mentaati Allah, lalu Allah akan menolong mereka (Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalâsh, hlm. 141).

Sifat-sifat HizbulLâh ini lebih dijelaskan dalam firman Allah SWT:

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيْمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang mengimani Allah dan Hari Akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang di dalam hati mereka telah Allah tanamkan keimanan dan Allah kuatkan mereka dengan pertolongan-Nya. Allah memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah meridhai mereka. Mereka pun merasa puas dengan (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan (partai) Allah. Ketahuilah, sungguh golongan (partai) Allah itulah yang beruntung (TQS al-Mujadillah [58]: 22).

Terkait ayat di atas, Imam asy-Syaukani berkata, mereka adalah HizbulLâh, yakni tentara Allah. Mereka adalah orang-orang yang menjalankan segala perintah-Nya, memerangi musuh-musuh-Nya dan menolong para wali-Nya.

Kata hizb dalam kedua ayat tersebut bukan dalam makna istilahnya, tetapi dalam makna bahasanya. Hal itu ditujukkan oleh penyandaran kata hizb pada kata Allah. Dengan demikian kata HizbulLâh dalam ayat tersebut bisa dimaknai: setiap Muslim baik individual maupun kelompok yang berwali kepada Allah SWT, Rasul-Nya dan kaum Muslim. Mereka tidak berwali kepada orang kafir atau orang yang menyimpang dari ketentuan Allah SWT serta menentang Allah dan Rasul-Nya, yakni menentang Islam dan syariahnya. Mereka meneladani Rasulullah saw., melaksanakan ketaatan, beragama dengan agama Allah sekaligus menolong agama-Nya.

HizbulLâh, sesuai keumumannya, juga mencakup hizb secara istilah. Jadi, partai (hizb) yang termasuk HizbulLâh adalah partai (hizb) yang anggotanya adalah orang-orang Muslim. Mereka diikat dengan ikatan akidah Islam. Mereka menanggalkan semua ikatan yang menyalahi Islam seperti nasionalisme, patriotisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, demokrasi, pluralisme, dsb. Mereka berhimpun pada satu pemikiran yang sesuai dengan syariah Islam, Mereka berpagang pada akidah Islam dan sistem yang terpancar dari akidah Islam. Pemikiran inilah yang mereka serukan dan mereka perjuangkan agar terwujud secara riil di tengah-tengah kehidupan.

Jadi partai yang termasuk HizbulLâh adalah partai yang berasaskan akidah Islam. Partai ini mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan solusi yang islami. Metode perjuangannya meneladani metode (tharîqah) Rasulullah saw. Merekalah yang akan mendapat keberuntungan.

أَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Ketahuilah, sungguh golongan (partai) Allah itulah yang beruntung (TQS al-Mujadillah [58]: 22).

Partai Setan

Adapun hizbusy-syaythân (partai setan) disebut di dalam al-Quran sebanyak dua kali dalam satu ayat yang sama. Allah SWT berfirman:

اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah. Mereka itulah golongan (partai) setan. Ketahuilah bahwa golongan (partai) setan itulah yang merugi (TQS al-Mujadilah [58]: 19).

Terkait ayat di atas, Imam Syaukani dalam Fathu al-Qadîr menyatakan, “Jika setan telah mengumpulkan mereka, yakni menjadikan mereka berkumpul menjadi kelompok, berarti setan telah menguatkan, menguasai, mengungguli, mencengkeram dan melindungi mereka. Lalu setan menjadikan mereka lupa mengingat Allah, yakni lupa pada perintah-perintah-Nya dan lupa melakukan ketaatan kepada-Nya. Mereka benar-benar tidak mengingat sedikitpun dari semua itu. Juga dikatakan, mereka lupa akan larangan Allah berupa larangan bermaksiat. Mereka adalah hizbusy-syaythân, yakni tentara-tentara, pengikut dan kelompok setan.”

Hizbusy-syaythân (partai setan) dalam ayat tersebut disebutkan dalam makna bahasanya. Lafal ini umum sehingga mencakup baik individu maupun kelompok. Jadi hizbusy-syaythân adalah setiap orang atau kelompok orang yang dikumpulkan dan dikuasai oleh setan, lalu setan menjadikan mereka lupa mengingat Allah SWT. Mereka menjadikan kaum yang dimurkai oleh Allah SWT sebagai teman. Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai. Lalu mereka menghalangi manusia dari jalan Allah SWT. Setan menguasai mereka. Lalu setan menjadikan mereka lupa mengingat Allah SWT. Mereka termasuk orang-orang yang menentang Allah SWT dan Rasul-Nya.

Dengan demikian hizbusy-syaythân (partai setan) adalah partai yang anggotanya terdiri dari orang-orang kafir atau orang-orang Muslim yang diikat dengan ikatan yang bertentangan dengan akidah Islam. Mereka berhimpun pada pemikiran yang tidak sesuai dengan akidah dan syariah Islam.

Dengan kata lain partai setan adalah partai yang durhaka, membangkang dan menyalahi kebenaran dan tuntutan dari Allah SWT. Partai ini mengkampanyekan kemaksiatan, yakni setiap bentuk penyelewengan dari hukum Allah SWT, serta menyeru manusia untuk berpaling dari jalan-Nya. Di dalamnya termasuk pula partai yang menyerukan ide dan aturan (sistem) kufur.

Partai setan tidak akan mendapat keberuntungan. Sebaliknya, mereka akan menderita kerugian yang amat besar karena telah menukar surga dengan neraka; menukar petunjuk dengan kesesatan.

أَلاَ إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Ketahuilah, sungguh golongan (partai) setan itulah yang merugi (TQS al-Mujadilah [58]: 19).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Jumat, 27 April 2018

PANCASILA ITU BAIK. LATTA dan UZZA juga BAIK.

PANCASILA ITU BAIK. LATTA dan UZZA juga BAIK.

Itu adalah kenyataan yang difahami umum dalam konteks yang sama tapi kita tidak sadar.

Ya, Patung fenomenal Bernama Latta dan Uzza yang menjadi sesembahan kaum jahiliah Quraisy ternyata mereka adalah oran-orang baik. 2 orang dikenal dengan pengaruhnya, tokoh besar qurasy di masa beberapa dekade sebelumnya, dikenal dan dikenag oleh orang-orang makkah.

Ketika latta dan uzza adalah orang-orang baik, lalu apakah yang salah dari keduanya? tentunya yang salah bukan mereka, yang salah adalah orang-orang yang menjadikan mereka sebagai patung kemudian di sembah. karena memang begitu tradisi jahiliah, menjadikan tokoh orang-orang baik menjadi patung.

Ketika Rasulullah SAW datang mengajarkan islam di Makkah, orang-orang makkah yang dikatakan jahiliah itu bukan tidak mengenal ALLAH, mereka mengenal betul, karena bukankah yang membuka pertama kali Makkah setelah sekian lama ditinggal adalah Ibraim dengan anaknya Ismail, yang juga mengajarkan agama tauhid. bukankah Saat sebelum kenabian Rasulullah SAW pun Ka'bah itu sudah dinamakan 'Baitullah'? Ayah Nabi juga bernama Abdullah.

Kesalahan terbesar kaum Quraisy sehingga disebut sebagai bangsa jahiliah adalah mempersekutukan Allah, Mereka mengakui mereka adalah Hamba Allah yang diciptakan oleh Allah, tapi mereka menjadikan tokoh-tokoh pendahulu mereka sebagai patung untuk disembah.

Pancasila itu baik.
Tapi dengan dalih Saya Pancasila lalu memakai hukum manusia untuk menolak Hukum-hukum Allah itu tidak baik.
Pancasila itu baik.
Tapi dengan dalih Pancasila lalu mengkiminalisasi ulama itu kurang ajar.
Pancasila Itu baik,
Tapi dengan dalih pancasila lalu melegalkan LGBT itu laknat.
Pancasila itu baik.
tapi menjadikan pancasila sebagai sesembahan baru itu membuat pekunya menjadi jahiliah.
Pancasila itu baik.
Tapi jika pancasila punya syariat sendiri yang bertentangan dengan Syariat islam, maka pancasila itu tidak lagi baik.

Tapi ternyata memang pancasila punya syariat sendiri.
syariatnya pancasila itu rastusan hukum perundang-undangan peninggalan belanda, puluhan hukum pengelolaan SDA pesanan Asing, dan semua hukum buatan manusia. dan syariat itu dipakai menggantikan syariat Allah.

Bukankah sudah jelas bahwa hak membuat hukum itu haknya Allah?

Mari berdiskusi

Senin, 23 April 2018

PENYALAHGUNAAN KAIDAH FIKIH UNTUK MENGIKUTI PEMILU

PENYALAHGUNAAN KAIDAH FIKIH UNTUK MENGIKUTI PEMILU

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Biasanya, menjelang Pemilu akan berseliweran di pelbagai media berbagai justifikasi agar umat Islam terlibat dalam Pemilu. Sebagiannya menggunakan kaidah-kaidah fikih (al-qawa’id al-fiqhiyyah). Misalnya kaidah adh-dharurah tubih al-mahzhurat, yang berarti kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan. Maksudnya, keikutsertaan umat dalam Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang, diakui hukum asalnya haram. Pasalnya, Pemilu Legislatif berarti memilih wakil rakyat yang di parlemen akan melegislasi hukum kufur, bukan hukum syariah Islam.

Namun kemudian, ada pertimbangan, Pemilu dalam sistem demokrasi saat ini adalah darurat sehingga akhirnya dibolehkan. Alasannya, kalau tidak memilih (alias golput) akan menimbulkan kemadaratan yang lebih besar, yaitu dominasi orang kafir atau pihak yang tidak menghendaki umat Islam kuat. Sebaliknya, dengan memilih, kemadaratannya lebih kecil. Menurut mereka, ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi: Yukhtaru ahwanus-syarrayn(dipilih kemadaratan yang paling ringan dari dua kemadaratan yang ada).

*Kaidah Fikih dan Rambu-rambunya

Kaidah fikih dalam kitab-kitab ushul fikih disebut dengan beragam istilah, namun maksudnya secara garis besar sama. Kadang disebut al-qawa’id al fiqhiyyah, atau al-qawa’id asy-syar’iyyah, atau al-qawa’id al kulliyah. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, kaidah fikih adalah :
اَلْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ الْكُلِّيُّ الْمُنْطَبِقُ عَلىَ جُزْئِيَّاتِهِ
Hukum syar’i yang bersifat menyeluruh (kulli) yang berlaku untuk bagian-bagiannya (juz’iyat) (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/444).
Definisi tersebut menjelaskan bahwa kaidah fikih mempunyai dua sifat utama. Pertama: kaidah fikih sebenarnya adalah hukum syar’i, yang di-istinbath dari dalil-dalil syar’i. Artinya, kaidah fikih sebenarnya bukan dalil syar’i (sumber hukum), melainkan hukum syar’i itu sendiri. Kedua: kaidah fikih merupakan hukum kulli, yakni hukum yang berlaku untuk banyak kasus (juz’iyyat), bukan berlaku untuk satu kasus saja (Taqiyuddin An-Nabhani, Izalah al-Atribah ‘anil Judzur, hlm. 1-2).

Misalkan kaidah fikih yang berbunyi: Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. (Apa yang tak dapat dijangkau semuanya, tidak ditinggalkan semuanya). Kaidah ini di-istinbath dari sejumlah dalil syar’i yang mewajibkan kaum Muslim untuk melaksanakan suatu taklif syariah semaksimal mungkin, di antaranya

sabda Rasulullah saw.:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka lakukan itu sekuat kemampuan kalian (HR Bukhari dan Muslim). (Lihat Iman Abdul Majid Al Hadi, Qa’idah Al-Maysur La Yasquthu bi al-Ma’sur, hlm. 77).

Kaidah ini tak hanya dapat diberlakukan pada satu kasus, tetapi banyak kasus. Misalnya, jika seseorang punya utang Rp 10 juta, tetapi hanya mampu membayar Rp 5 juta, maka tak boleh dia tak membayar utang sama sekali. Dia wajib membayar walau hanya Rp 5 juta.

Contoh lain, jika seorang murid/mahasiswa harus menguasai 10 bab ilmu untuk ujian, sedangkan dia hanya mampu menguasai 7 bab saja, maka dia wajib menguasai yang 7 bab itu. Tidak boleh dia menyerah dan tidak menguasai satu bab pun. Demikian seterusnya.

Meskipun kaidah fikih bukan dalil syar’i (sumber hukum), ia dapat diamalkan seperti halnya dalil syar’I; maksudnya, dapat menjadi dasar bagi penetapan hukum-hukum syariah baru. Hanya saja hukum-hukum syariah baru ini bukan hukum syariah yang sama sekali baru, seperti halnya hukum hasil ijtihad, melainkan sekadar cabang hukum dari hukum pokok yang sudah ada (yaitu kaidah fikih itu sendiri).

Jadi pengamalan kaidah fikih hakikatnya adalah mencabangkan hukum syariah, yang diistilahkan at-tafrii’ ‘ala al hukm asy-syar’i oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/443).
Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, pengamalan kaidah fikih ada rambunya, yaitu disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan nash-nash syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah. Jika pengamalan suatu kaidah fikih bertentangan dengan nash-nash syariah maka yang diamalkan adalah nas syariah, sedangkan kaidah fikihnya wajib diabaikan, yakni tidak boleh diamalkan. Hal itu karena pengamalan kaidah fikih kedudukannya sederajat dengan pengamalan Qiyas. Jika Qiyas bertentangan dengan nash al-Quran dan as-Sunnah, yang wajib diamalkan adalah nas al-Quran dan as-Sunnah, sedangkan Qiyasnya dikalahkan dan tidak boleh diamalkan (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/449).

*Penyalahgunaan Kaidah Darurat

Tidak dibenarkan menggunakan kaidah darurat untuk menjustifikasi keikutsertaan dalam Pemilu Legislatif.

Alasannya ada dua. Pertama: pengamalan kaidah darurat tersebut tidak sah karena bertentangan dengan nas-nas syariah yang mengharamkan fungsi legislasi dalam sistem demokrasi saat ini. Pemilu Legislatif dimaksudkan untuk memilih anggota parlemen yang tugas utamanya adalah melakukan legislasi.
Legislasi di parlemen haram karena legislasi ini hakikatnya adalah memberikan hak tasyri’(penetapan hukum) kepada selain Allah, sesuai prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi.

Padahal dalam Islam hak tasyri’ hanyalah milik Allah saja, bukan yang lain (M. Ahmad Mufti, At-Tasyri’ wa Sann al-Qawanin fi ad-Dawlah al-Islamiyyah, hlm. 6 & 38).
Nas-nas syariah dengan tegas membatasi hak tasyri’ sebagai hak milik Allah SWT saja (QS al-An’am [6] : 57).
Karena itu wajar jika orang yang membuat hukum sendiri tanpa merujuk pada wahyu Allah disebut sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah, karena dia telah menandingi hak Allah sebagai Pembuat Hukum (Al Musyarri’) (Lihat: QS at-Taubah [9] : 31).
Dengan demikian, jelas penggunaan kaidah darurat untuk menjustifikasi keterlibatan umat dalam Pemilu adalah batil. Pasalnya, kaidah darurat merupakan bagian kaidah fikih yang syarat penerapannya tidak boleh bertentangan dengan nas-nas syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Kedua: karena kondisi daruratnya sendiri tidak ada sehingga tidak sah mengamalkan kaidahadh-dharurah tubih al—mahzhurat (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan) untuk menjustifikasi keterlibatan umat dalam pemilu. Darurat menurut Imam Suyuthi adalah sampainya seseorang pada suatu batas yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati (misal kehilangan anggota tubuh seperti tangan, kaki, dsb).

Contohnya boleh makan bangkai atau minum khamer bagi orang yang kalau tidak segera makan/minum dia akan terancam mati (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hlm. 84-85). Definisi darurat Imam Suyuthi itu semakna dengan definisi darurat menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, yaitu keterpaksaan yang sangat (al-idhthirar al-mulji’) yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kematian (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/483). Jadi definisi darurat itu terbatas pada kondisi yang mengancam jiwa.

Inilah definisi darurat yang disepakati ulama empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali (Wahbah Zuhaili, Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami, X/427).
Dengan demikian, jika kondisi yang ada tidak sampai mengancam jiwa, misalnya sekadar kehilangan kesempatan menjadi presiden, anggota DPR, atau anggota kabinet, jelas bukan kondisi darurat. Kondisi darurat dalam arti terancamnya jiwa sama sekali tidak terwujud ketika umat Islam tidak memilih dalam Pemilu. Apakah kalau umat Islam tidak memilih dalam Pemilu lantas terancam jiwanya? Tidak, bukan?
Persoalannya, para masyasyikh muta’akh-khirin (ulama kontemporer) ternyata cenderung melonggarkan definisi darurat. Darurat didefinisikan secara luas bukan hanya kondisi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengancam hal-hal selain jiwa, seperti harta, akal, dan sebagainya (Wahbah Zuhaili, Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami, 10/428-429).

Jadi seorang pegawai yang terancam dipecat oleh atasannya dapat dikategorikan dalam kondisi darurat, karena terancam hartanya (tak lagi gajian). Jika definisi darurat yang longgar seperti ini yang dipakai, memang logis kalau Pemilu dianggap darurat. Mungkin mereka menganggap dominasi kaum liberal/sekular dalam parlemen adalah kondisi darurat jika umat tidak memilih. Dengan tak memilih, umat akan terancam, meski bukan terancam nyawanya, tetapi mungkin terancam kepentingannya.
Padahal definisi darurat yang longgar itu tak dapat diterima. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani definisi itu justru tidak sesuai dengan nash al-Quran yang menjadi sumber atau dasar definisi darurat.

Misalnya, QS al-Baqarah ayat 173 jelas membatasi kondisi darurat hanya pada kondisi yang mengancam jiwa, bukan mengancam hal-hal lain di luar keselamatan jiwa (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/483).

*Penyalahgunaan Kaidah Akhaffu Dhararayn

Kaidah Akhaffu Dhararayn artinya adalah seorang Muslim boleh memilih bahaya (dharar) yang paling ringan dari dua bahaya yang ada. Kaidah ini pengertiannya sama dengan kaidahYukhtaru ahwanus-syarrayn yang telah dijelaskan di atas (M. Shidqi al-Burnu, Mawsu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, XII/349).
Kaidah ini biasanya digunakan untuk menyikapi adanya dua bahaya yang diasumsikan akan menimpa umat dalam konteks Pemilu.

Pertama: bahaya kecil ketika umat Islam terlibat dalam demokrasi. Kedua: bahaya besar ketika umat Islam tidak terlibat dalam demokrasi, yaitu akan adanya dominasi orang kafir di parlemen atau kabinet, yang dapat mengancam kepentingan atau aspirasi umat Islam.
Penggunaan kaidah Akhaffu Dhararayn ini untuk membolehkan umat ikut Pemilu juga tidak dapat dibenarkan, karena beberapa alasan. Pertama: pengamalan kaidah tersebut secarasyar’i tidak sah karena tidak memenuhi syaratnya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Sudah dijelaskan bahwa banyak nas-nas yang mengharamkan fungsi legislasi dalam sistem demokrasi saat ini.

Kedua: pengguna kaidah tersebut terjebak pada logika jumlah orang (individu), seraya melupakan aspek sistem yang ada. Diasumsikan kalau di parlemen mayoritasnya Muslim, akan baik dan tak berbahaya. Sebaliknya, kalau mayoritasnya non-Muslim akan tidak baik dan berbahaya. Padahal jumlah Muslim atau non-Muslim tidak ada efeknya secara signifikan dalam sistem demokrasi. Pasalnya, dalam sistem demokrasi, UU yang dihasilkan adalah UU kufur, tidak peduli apakah pendukung UU itu mayoritasnya Muslim atau non-Muslim. Bahkan kalaupun UU yang akan dilegislasikan adalah syariah Islam dari segi substansi hukumnya, seperti UU Perkawinan, Zakat, atau Wakaf, tetap saja prosedur legislasinya batil, yaitu tunduk pada suara mayoritas (Muhammad Syakir Syarif, Al-Musyarakah fi al-Barlaman, hlm. 91).

Ketiga: pengguna kaidah tersebut lupa terhadap fakta konkret, bahwa banyak bahaya yang menimpa umat Islam justru ketika anggota parlemen mayoritasnya Muslim. Sebagai contoh, UU Migas yang disahkan oleh DPR tahun 2001 yang mayoritasnya Muslim. UU Migas ini telah menjadi dasar Perpres (Peraturan Presiden) untuk menetapkan kenaikan BBM yang berkali-kali terjadi. Padahal kenaikan BBM telah terbukti melonjakkan berbagai harga barang dan jasa dan sudah terbukti menaikkan jumlah orang miskin di Indonesia.

*Penyalahgunaan Kaidah Ma La Yudraku Kulluhu La Yutraku Kulluhu

Kaidah ini berarti apa yang tak dapat diraih semua, jangan ditinggalkan semua. Maksudnya, umat Islam harus ikut Pemilu walaupun tidak bisa mayoritas (meraih semua kursi), jangan sampai tidak ikut memilih sama sekali.
Penggunaan kaidah ini juga tak dapat dibenarkan karena dua alasan.

Pertama: kaidah ini tidak sah untuk diterapkan karena tidak memenuhi syarat penerapannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan nas-nas syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah. Padahal banyak nas-nas syariah yang telah mengharamkan fungsi legislasi dalam parlemen saat ini.

Kedua: kaidah tersebut hanya boleh diterapkan pada perbuatan-perbuatan yang halal, tidak boleh diterapkan untuk perbuatan yang haram, seperti legislasi di parlemen saat ini. Hal ini dapat diketahui dari dalil hadis yang mendasari kaidah ini, yaitu sabda Nabi saw., “Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka lakukan itu sekuat kemampuan kalian.”(HR al-Bukhari dan Muslim). Dari hadis ini dapat diketahui bahwa tidak mungkin Nabi saw. memerintahkan kecuali yang halal menurut syariah.
Karena itu, tidak boleh menerapkan kaidah tersebut untuk perbuatan yang haram.
Misalnya, kalau tidak bisa k orupsi 1 miliar, korupsi 500 juta saja. Demikian pula tidak boleh menerapkan kaidah tersebut untuk menjustifikasi keikutsertaan dalam Pemilu Legislatif. Pasalnya, Pemilu ini akan mengantarkan para wakil rakyat untuk melakukan perbuatan yang haram, yaitu melegislasi UU kufur.

WalLahu a’lam

Minggu, 08 April 2018

Khilafah adalah mahkota kewajiban




”Khilafah adalah mahkota kewajiban”. Disebut mahkota, karena ia tempatnya di atas. Ia adalah fardhu kifayah tertinggi umat Islam. Penting bagi kaum muslim untuk memperjuangkan penegakan khilafah di tengah-tengah kondisi umat yang merindukan sistem kehidupan terbaik dari Sang Pencipta Allah Swt. Ada beberapa alasan yang menjadikan khilafah layak disebut mahkota kewajiban. 

Pertama; Khilafah adalah pelaksana hukum-hukum Islam. Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur tentang tata cara beribadah mencakup sholat, puasa, zakat, haji dan segala rinciannya. Islam mengatur pula masalah seputar makanan, pakaian dan akhlak beserta segala rinciannya. Semua itu wajib dijalankan oleh individu muslim.

  Lebih dari itu, masalah muamalah (interaksi) dan uqubat (sanksi) juga diatur di dalam Islam. Aturan tersebut sebagian kecil dapat dilaksanakan oleh individu dan masyarakat saja. Seperti jual beli dan hutang piutang. Namun, sebagian besar aturan Islam terkait pengaturan kehidupan bermasyarakat seperti sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem pergaulan, sistem sanksi dan sistem politik hanya dapat dilaksanakan oleh pemerintahan Islam yaitu khilafah. Hari ini, ketiadaan khilafah menyebabkan hukum-hukum Islam hilang dari realitas kehidupan kita. Tidak ada sistem ekonomi Islam. Sehingga saat ini, sistem ekonomi kita menganut sistem ekonomi kapitalis sekuler berbasis riba. Padahal jelas Allah Swt mengharamkan riba (lihat Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275). Tidak ada pelaksanaan sistem sanksi Islam/ uqubat yang tercakup dalam hudud, jinayat, ta’zir dan mukhalafat. Sehingga kini kriminalitas merajalela. Pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan kejahatan lainnya mengancam di sekitar kita.
 Saat ini pula, hukum-hukum Islam yang seharusnya dapat dilakukan individu muslim tidak terlihat wujudnya. Banyak kaum muslim yang enggan menuturp auratnya. Banyak kaum muslim yang lalai melaksanakan sholat. Itu disebabkan tidak ada sistem pendidikan Islam yang mampu mendidik umat menjadi pribadi-pribadi yang taat kepada Allah Swt. Tidak ada sistem politik Islam untuk mencegah masuknya budaya-budaya barat ke negeri kita. Sehingga meski Indonesia berpenduduk mayoritas muslim, namun kehidupannya serba kebarat-baratan. Betapa pentingnya keberadaan khilafah. Karena, tidak mungkin berharap sistem demokrasi bersedia menerapkan Islam secara sempurna. Antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Bagai air dan minyak, tidak dapat disatukan. Islam berazas akidah Islam, sedangkan demokrasi berazas sekulerisme. Jadi, Khilafah ada demi pelaksanaan Islam secara kaffah.
 Alasan kedua, khilafah disebut mahkota kewajiban karena Khilafah Islamiyah merupakan penjamin kesejahteraan umat manusia. Islam diturunkan sebagai rahmat bagi sekalian alam. Maknanya, syariat Islam mengandung maslahat bagi manusia dan alam semesta ketika dilaksanakan secara keseluruhan. Sebagaimana kaidah ushul fiqih menyebutkan: “Dimana ada Islam, disitu ada maslahat”. Kaidah ini benar adanya. Satu contoh, ketika sistem ekonomi Islam dilaksanakan akan mendatangkan kesejahteraan hidup. Sebagaimana kisah sejarah yang menceritakan sejahteranya rakyat di masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sampai-sampai saat itu, tidak ada rakyat yang bersedia menerima zakat karena tidak tergolong fakir miskin.
 Alasan ketiga, khilafah disebut mahkota kewajiban karena ia adalah wadah pemersatu umat Islam seluruh dunia. Dengan khilafah, persaudaraan umat Islam menjadi nyata. Karena mereka berada dalam naungan satu negara. Tidak terpecah-pecah ke dalam negara-negara bangsa seperti saat ini. Khilafah akan menyatukan segala potensi umat. Sehingga umat Islam menjadi umat yang kuat, disegani dan dihormati. Tidak seperti saat ini, umat Islam dibelahan bumi Palestina disakiti oleh Israel dan sekutunya.Umat Islam di Rohingnya tidak mendapat tempat di negeri kelahirannya. Sementara di negeri Indonesia sendiri, umat Islam dijajah pemikirannya, dirampok kekayaannya oleh asing dan antek-anteknya. Meski umat Islam jumlahnya banyak, namun mereka lemah. Mereka tak berdaya oleh hantaman fisik maupun pemikiran dari para penjajah. Mari perjuangkan khilafah, demi kebaikan bersama. Wallahu a’lam bishawab. evaarlini

GONTA-GANTI PEMIMPIN, KAPAN GANTI SYSTEM ?




GONTA-GANTI PEMIMPIN, KAPAN GANTI SYSTEM ?
FAKTA membuktikan Gonta Ganti Pemimpin tidak akan berdampak siqnifikah terhadap perubahan yang hakiki
Diperlukan bukan hanya Pemimpin yang taat pada aturan Allah 
Tapi juga SYSTEM yang bersumber dari Allah
Bukan system buatan manusia yang penuh dengan kepentingan dan hawa nafsu
Allah swt adalah satu-satunya yang berhak membuat membuat syariat. Bukan suara mayoritas BANYAK ORANG.
System Democrazy memungkinkan Suara Rakyak bisa menjadi Suara Tuhan ...Astagfirullah..
masak suara mayoritas disetarakan suara Tuhan
Jadi Rakyat bisa jadi Tuhan ?
Sistem ini lahir dari Ibu kandungnya yang bernama Sekulerisme (pemisahan Agama dan urusan Dunia). Dan juga punya saudara kandung yang bernama KAPITALISME.
Dua saudara ini sistem Ekonomi KAPITALISME DAN sistem Politik Democrazy saling menguatkan satu sama lain.
Penguasa merangkap jadi Pengusaha HAHAHA
kebijakan bisa dipesan dan disesuaikan kepentingan asing atau pengusaha.
FAKTA sekali lagi membuktikan Ganti Orang saja tidak cukup, harus ganti system ...
dan system manakah yang diridhoi oleh Allah 
yaitu system yang sumbernya dari Allah yang berhak membuat syariat
Pilih mana yang ditegakkan di dunia ini
System jahiliyah atau System Islam ?
Hati-hati pilihanmu ...
jangan sampai salah pilih
Bersama umat tegakkan syariah & Khilafah
Anologinya begini bro ...
Coba bayangkan ada kepala sekolah di suatu sekolahan
yang aturan di sekolah ini menghalalkan miras, menghalalkan judi, juga aborsi ...
kalau cuma kepala sekolahnya saja di ganti tanpa menganti aturan yang sudah baku di sekolah tersebut
Apakah sekolah ini beres...
ganti orang saja tidak cukup ...
pastikan aturan / sistem yang diterapkan juga bersumber dari yang benar dan baik..
saatnya ganti Rezim , Ganti System
bro Renvis

HUKUM DAN PERADILAN DALAM SISTEM ISLAM : Menjamin Keadilan dan Ketegasan Hukum


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Salah satu puncak peradaban emas Khilafah adalah penerapan syariah Islam di bidang hukum dan peradilan. Keberhasilan yang gemilang di bidang ini membentang sejak sampainya Rasulullah saw. di Madinah tahun 622 M hingga tahun 1918 M (1336 H) ketika Khilafah Utsmaniyyah jatuh ke tangan kafir penjalah (Inggris). (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam, hlm. 44).

Kunci utama keberhasilan tersebut karena hukum yang diterapkan memang hukum terbaik di segala zaman dan masa, yaitu syariah Islam, bukan hukum buatan manusia seperti dalam sistem demokrasi-sekular sekarang. Allah SWT berfirman.,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُون
Apakah hukum jâhiliyyah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Mâidah [5]: 50).

  • Dalam kitab At-Tafsir al-Munir Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan bahwa ayat ini berarti tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah dan tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, VI/224).


Dalam hukum Islam itulah akan didapati suatu cita-cita tertinggi manusia dalam bidang hukum di segala peradaban, yaitu keadilan. Keadilan merupakan sifat yang melekat pada Islam itu sendiri dan tak terpisahkan dari Islam. Allah SWT berfirman:

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا
Telah sempurnalah Kalimat Tuhanmu (al Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil
(QS al-An'âm [6]: 115).

Islam sendiri juga memerintahkan manusia untuk bersikap adil dalam menerapkan hukum hukum Allah, sebagaimana firman-Nya. 
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil (QS an-Nisâ' [4]: 58).

Ayat ini turun berkaitan dengan kisah Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. pada saat Fathu Makkah. Beliau merampas kunci-kunci Ka'bah dari tangan Utsman bin Thalhah, sang penjaga Ka'bah. Rasulullah saw. ternyata marah dan memerintahkan Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. untuk mengembalikan kunci Ka'bah kepada Utsman bin Thalhah. Kemudian turunlah ayat di atas yang akan dibaca terus hingga Hari Kiamat nanti (Tafsir Ibnu Katsir, 1/516).

Hakikat Keadilan 

Keadilan dan Islam adalah satu-kesatuan. Karena itu, tidak aneh jika para ulama mendefiniskan keadilan (al-'adl) sebagai sesuatu yang tak mungkin terpisah dari Islam. Menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah (Kullu ma dalla 'alayhi al-kitab wa as-sunnah), baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah as-Syar'iyah, him. 15).

Menurut Imam al-Qurthubi, keadilan adalah setiap-tiap apa saja yang diwajibkan baik berupa akidah Islam maupun hukum-hukum Islam (Kullu syayyin mafrudhin min 'uqa'id wa ahkam). (Al-Qurthubi, Al-jami' li Ahkam Al Qur'an, X/165). Berdasarkan pendapat-pendapat seperti ini, keadilan dapat didefinisikan secara ringkas, yaitu berpegang teguh dengan Islam (al-ittizam bil-Islam) (M. Ahmad Abdul Ghani, Mafhum al-‘Adalah al Iljtima'iyah fi Dhaw' al-Fikr al-lslami Al Mu'ashir, 1/75).

Apabila keadilan Islam itu diimplementasikan dalam masyarakat, implikasinya adalah akan terwujud suatu cara pandang dan cara perlakuan yang sama terhadap individu-individu masyarakat. Artinya, semua individu anggota masyarakat akan diperlakukan secara sama tanpa ada diskriminasi dan tanpa pengurangan atau pengunggulan hak yang satu atas yang lainnya. Inilah keadilan hakiki yang akan terwujud sebagai implikasi penerapan syariah Islam dalam masyarakat (Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam ar-Ra'sumaliyah al Gharbiyah, hlm. 191).

Fakta Historis Keadilan Hukum 

Tak sedikit tinta emas menggoreskan catatan sejarah yang membuktikan terwujudnya keadilan di tengah masyarakat Islam. Di antaranya adalah kisah sengketa baju besi Khalifah Ali bin Thalib ra. dengan seorang laki-laki Yahudi. Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim, bahwa baju besi Ali ra. hilang pada Perang jamal. Ali ra. ternyata mendapati baju besinya di tangan seorang laki-laki Yahudi. Khalifah Ali ra. dan orang Yahudi lalu mengajukan perkara itu kepada hakim bernama Syuraih. Ali ra. mengajukan saksi seorang bekas budaknya dan Hasan, anaknya. Syuraih berkata, "Kesaksian bekas budakmu saya terima, tetapi kesaksian Hasan saya tolak." Ali ra. berkata, "Apakah kamu tidak pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda bahwa Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda penghuni surga?" Syuraih tetap menolak kesaksian Hasan, dan memenangkan si Yahudi. Syuraih lalu berkata kepada orang Yahudi itu,"Ambillah baju besi itu." Namun, Yahudi itu lalu berkata, "Amirul Mukminin bersengketa denganku, lalu datang kepada hakim kaum Muslim, kemudian hakim memenangkan aku dan Amirul Mukminin menerima keputusan itu. Demi Allah, Andalah yang benar, wahai Amirul Mukminin. Ini memang baju besi Anda. Baju besi itu jatuh dari unta Anda lalu aku ambil. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah." Ali ra. berkata,"Karena Anda sudah masuk Islam, kuberikan baju besi itu untukmu." (Al-Kandahlawl, Hayah AshShahabah, 1/146).

Kisah ini menunjukkan bahwa keadilan telah ditegakkan, walau yang bersengketa adalah seorang kepala negara dengan rakyat biasa yang non-Muslim. Hukum syariah memang tidak membenarkan kesaksian seorang anak untuk bapaknya. Inilah prinsip syariah yang dipegang teguh oleh hakim Syuraih ketika mengadili perkara tersebut (Ahmad Da'ur, Ahkam Al-Bayyinat, hlm. 23).

Keadilan Islam yang hebat dan mengagumkan juga pernah tercatat saat peristiwa penaklukan Kota Samarqand, di negeri Khurasan, Asia Tengah, sebagaimana dikisahkan oleh Imam Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk (VIII/138). Syahdan, setelah kota ditaklukkan pasukan kaum Muslim, penduduk Samarqand yang non-Muslim itu mengadu kepada hakim bahwa para pasukan telah menyalahi hukum Islam. Sebab, menurut pengetahuan mereka, Islam mengajarkan bahwa penaklukan harus diawali dulu dengan dakwah kepada penduduk untuk masuk Islam. Lalu jika mereka tak mau masuk Islam, mereka diminta membayar jizyah. jika mereka tetap tak mau membayar jizyah, barulah pasukan Islam boleh memerangi mereka.

Penduduk Samarqand memprotes kepada hakim karena pasukan Islam ternyata menaklukkan Samarqand tanpa diawali dakwah dan tawaran jizyah. Yang menakjubkan, hakim pun akhirnya memutuskan bahwa penaklukan Samarqand tidak sah. Hakim lalu memerintahkan pasukan Islam keluar dari Kota Samarqand dan mengulangi lagi proses penaklukan dengan menyampaikan dakwah dan tawaran jizyah lebih dulu. Demi mendengar vonis hakim yang adil ini, penduduk Samarqand berkata, ''Kalau begitu, silakan pasukan Islam tetap di dalam kota dan kami masuk Islam." (Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam ar Ra’suma1iyah Al-Gharbiyah, hlm. 226).

Kisah ini juga menunjukkan keadilan Islam yang luar biasa. Hakim tetap berpegang teguh dengan hukum Islam, walaupun yang mengadukan perkara adalah non-Muslim. Hakim tidak lantas memenangkan pasukan Islam yang sudah telanjur menaklukkan Kota Samargand. Itu tak lain karena hakim memang berpegang teguh dengan sabda Rasulullah saw., bahwa pasukan Islam hanya boleh memerangi setelah melakukan lebih dulu aktivitas dakwah untuk masuk Islam dan memberi tawaran membayar jizyah. 

Penaklukan yang adil semacam itulah yang sebelumnya pernah terjadi di Wadi Urdun saat pasukan Islam pimpinan Abu Ubaidah ra. menaklukkanya. Daerah itu dulunya bekas wilayah Kerajaan Romawi. Ketika Abu Ubaidah sampai ke daerah Fahl, penduduknya yang Nasrani menulis surat yang bunyinya, "Wahai kaum Muslim, kalian lebih kami cintai daripada Romawi, meski agama mereka sama dengan kami. Kalian lebih menepati janji kepada kami, lebih lembut kepada kami, dan menghentikan kezaliman atas kami. Kalian lebih baik dalam mengurusi kami. Romawi hanya ingin mendominasi segala urusan kami dan menguasai rumah-rumah kami." (Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam ar Ra'sumaliyah al-Gharbiyyah, hlm. 228).

Kisah ini tak hanya ditulis oleh ulama Muslim seperti dalam kitab Futuh al-Buldan, karya Imam Al-Baladzuri (hlm 139), tetapi juga dikutip oleh para penulis non-Muslim, seperti Thomas W Arnold dalam bukunya Fath al-Arab Bilad asy-Syam wa Filisthin. Dalam bukunya ini Thomas W. Arnold mengutip banyak kisah yang menunjukkan bagaimana kaum Muslim berpegang teguh dengan Islam dan bagaimana bagusnya interaksi kaum Muslim dengan non-Muslim di negeri-negeri taklukan.

Inilah keadilan hakiki yang berhasil diwujudkan Islam. Keadilan seperti inilah yang dulu pernah diwujudkan negara Khilafah tatkala menerapkan syariah Islam di tengah masyarakat. Keadilan yang didambakan tak hanya oleh umat Islam, namun bahkan oleh orang-orang non-Muslim sekalipun.

Hal itu tentu saja sangat bertolak belakang dengan situasi umat Islam sekarang, terutama setelah hancurnya Khilafah di Turki pada 3 Maret 1924. Sejak saat itu syariah Islam tak lagi mempunyal institusi yang melindungi dan menerapkannya. 

Hukum yang diterapkan bukan lagi syariah Islam, melainkan hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Ini terjadi tiada lain karena sistem demokrasi telah merampas hak membuat hukum yang semula milik Allah SWT, menjadi milik manusia yang lemah dan serba terbatas. 

Akibatnya, sangat mengerikan, yaitu manusia jauh dari hukum Allah, dan dengan sendirinya jauh dari keadilan. Keadilan pun tak akan pernah ada: kecuali keadilan semu yang palsu dan menipu.

Akibatnya, yang merajalela bukanlah keadilan, melainkan kezhaliman yang dipaksakan dan dilegitimasi atas nama sistem demokrasi yang kufur. Sampai kapankah umat Islam masih mau ditindas oleh sistem demokrasi yang kufur ini.

Daftar Bacaan
1. Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Mafhum Al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fi Dhaw’ al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir, (t.tp. : tp.), 2004.
2. Al-Balawi, Salamah Muhammad Al-Harfi, Al-Qadha’ fi ad-Dawlah al-Islamiyah Tarikhuhu wa Nuzhumuhu (Riyadh: Darun Nasyr), 1994.
3. Al-Kandahlawi, Hayah ash-Shahabah, (Maktabah Misykah Al-Islamiyah: t.tp), tt.
4. Asy-Syarbaini, Mahmud, Al-Qadha’ fi al-Islam, (Kairo: Al-Hai’ah Al-Mishriyah Al-‘Ammah li Al-Kuttab), 1999.
5. Bahnasy, Ahmad Fathi, Nazhariyah al-Itsbat fi al-Fiqh al-Jina’i al-Islami (Kairo: Dar Al-Syuruq), 1989.
6. Thabib, Hamad Fahmi, Hatmiyah Inhidam al-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah (t.tp : tp.), 2004.
7. Washil, Nashr Farid Muhammad, Asy-Sulthah al-Qadha’iyah wa Nizham al-Qadha’ fi Al-Islam (Kairo: Maktabah Taufiqiyah), 1403 H.


KALAU BUKAN KHILAFAH, LALU DENGAN APA LAGI?

Oleh: Ahmad Sudrajat (Khadim Majlis Sirah Shahabat) Yasir bin Amir berangkat meninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui s...