Selasa, 18 Desember 2018

KALAU BUKAN KHILAFAH, LALU DENGAN APA LAGI?

Oleh: Ahmad Sudrajat (Khadim Majlis Sirah Shahabat)
Yasir bin Amir berangkat meninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui salah seorang saudaranya. Sampailah ia di Makkah dan merasa betah tinggal di sana. Ia pun bermukim di sana dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah ibnul Mughirah. 
 AbuHudzaifah mengawinkan Yasir dengan salah seorang budaknya yang bernama Sumayyah binti Khayyath; dari perkawinan ini, kedua suami istri itu dikaruniai seorang putra bernama Ammar.
Keluarga Yasir termasuk dalam golongan assabiqunal awwalun (generasi pertama). Sebagaimana halnya orang-orang saleh yang termasuk dalam golongan yang pertama masuk Islam, mereka cukup menderita karena persekusi kaum Quraisy. Sebagaimana penduduk Makkah yang rendah martabatnya, miskin, atau dari golongan budak belian, maka mereka disiksa karena keislamannya. Penyiksaan mereka diserahkan kepada Bani Makhzum, kaum yang bertanggung jawab atas diri mereka.
Bani Makhzum menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan agar mereka keluar dari agamanya. Tanpa rasa iba, mereka menyiksa dan menyeret keluarga Yasir di jalanan dan membawa mereka ke padang pasir di tengah terik matahari. Orang-orang musyrik memakaikan baju besi kepada mereka untuk menambah penderitaan. Setelah keringat mereka berhenti mengalir, tubuh mereka kering, dan darah mereka mulai bercucuran, mereka dipaksa untuk kembali murtad dari agama Islam dan dipaksa untuk menghina dan mencaci Rasulullah.
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah disiksa dengan kejam, maka beliau menengadahkan ke langit dan berseru,
“Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.”

Sumayyah binti Khayyath mendengar seruan Rasulullah saw maka beliau bertambah tegar dan optimis. Dengan kewibawaan imannya, dia mengulang-ulang dengan berani, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar.”
Kerasnya siksaan ternyata tak membuat iman mereka goyah. Hingga akhirnya, Abu Jahal turun tangan untuk menyiksa Sumayyah dan keluarganya. Tangan dan kaki mereka diikat lalu dilemparkan di atas kerikil tajam dan panas. Di tengah siksaan yang kejam, Sumayyah dengan penuh keberanian justru menantang Abu Jahal, seorang pemimpin Quraisy yang disegani. Abu Jahal murka mendengar seorang perempuan menantangnya. Ia lalu membunuh Sumayyah dengan cara yang keji, demi menutupi rasa gengsinya yang telah dihinakan seorang perempuan. Sumayyah pun gugur sebagai syahidah pertama. Ia adalah pahlawan Islam pertama yang meninggal, karena mempertahankan agamanya.
Demikianlah persekusi yang dihadapi kaum Muslim generasi awal, ketika mereka mendapatkan kekerasan verbal maupun fisik semata karena mempertahankan keyakinannya. Kaum Muslim, sebagai sebuah entitas, tidak bisa berbuat banyak untuk menolong saudara-saudara mereka yang menjadi korban persekusi dan tindak kekerasan. Kalaulah ada pertolongan yang diberikan – sebagaimana Abu Bakar yang membebaskan sejumlah sahabat dari kalangan budak, seperi Bilal bin Rabah – jumlahnya tak banyak.
Bahkan ketika Allah swt telah menurunkan pertolongannya, mempertemukan Rasulullah saw dengan kekuatan baru dari Yatsrib, Rasul dan para sahabat tidak juga memerangi para pelaku persekusi. Ketika orang-orang Yatsrib itu bertanya kepada Nabi pada saat bai’at Aqobah yang kedua, “Kenapa kita tidak menyerang penduduk lembah ini (lembah Mina)?” Rasul menjawab, “Aku belum diperintahkan untuk melakukan itu.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/434).
Pembelaan kepada sesama Muslim yang mengalami penganiayaan atau penyiksaan dalam bentuk perlawanan bersenjata baru dilakukan setelah turun izin berperang dari Allah swt.
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al-Hajj : 39)

Ayat ini turun ketika Rasulullah SAW sudah berada di Madinah. Ketika Madinah sudah menjadi tempat yang aman bagi umat Islam; setelah kaum Muslim memiliki kekuatan, barulah Allah SWT menurunkan ayat ini, sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir. Demikianlah, izin berperang baru diberikan Asy-Syari’ setelah Rasulullah saw mendapatkan tempat hijrah Madinah; yakni setelah penduduk Madinah menepati bai’atnya kepada Rasul, menolong Rasul dan para Muhajirin, sehingga terbentuklah entitas Daulah Islamiyah di Madinah.
Selepas turunnya izin berperang, sikap yang berbeda ditunjukkan oleh Baginda Nabi saw ketika menghadapi persekusi, penganiayaan, atau penistaan atas Islam atau kaum Muslim. Telah masyhur sebuah episode perjalanan hidup Nabi saw di Madinah, ketika beliau memberangkatkan pasukan, mengepung, dan akhirnya mengusir kaum Yahudi Bani Qainuqa setelah mereka melakukan penistaan kepada seorang Muslimah di Pasar Bani Qainuqa. Pun demikian, ketika Rasulullah saw memberangkatkan 3.000 pasukan, menembus padang pasir di Semenanjung Arab sejauh lebih seribu kilometer menuju perbatasan Romawi, semata karena hendak menuntut balas kematian utusan Rasul, Harits bin Umair radhiallahu ‘anhu kepada Raja Bushra, yang dihadang dan dibunuh tatkala utusan ini sampai di Mu’tah.
Sikap ini pula yang ditunjukkan para khalifah sesudahnya, termasuk di antaranya Khalifah Al Mu’tashim – khalifah ke-8 Bani Abbasiyah – yang mengirimkan pasukan besar dan membebaskan kota Ammuriyah dari kekuasaan Romawi setelah ia mendengar seruan seorang Muslimah yang ditawan dan dilecehkan pasukan Romawi di sana; seruan yang masyhur, “Wahai Muhammad, wahai Mu’tashim!!” ternyata berhasil menggerakkan Khalifah Al Mu’tashim dan kaum Muslim untuk membela kehormatan dan menaklukkan sebuah kota dari tangan pasukan kafir.
Demikianlah tuntunan syariat bagi kaum Muslim ketika menghadapi berbagai derita akibat persekusi kaum kafir durjana; yaitu hadirnya sebuah kekuatan yang cukup untuk menghentikan sikap aniaya musuh-musuh umat, sebuah negara adidaya: khilafah sebutannya.
Maka, ketika foto dan kisah derita kaum Muslim di berbagai negeri memenuhi time line media sosial kita, silih berganti seolah tiada henti, wajarlah jika muncul sebuah tanya: sudahkah kita sepakat dengan solusi sesuai syariat? Ketika kabar derita terus mengalir dari Palestina, Myanmar, Kashmir, Yaman, Turkistan, dan negeri-negeri Muslim lainnya, patutlah kita merenung apakah kita ikut berkontribusi melanggengkan derita. Yaitu ketika kita mencukupkan bantuan kita dengan aksi demo, kutukan, bantuan makanan, selimut, dan obat-obatan.
Dengan segala hormat, tentu tak ada maksud untuk mengecilkan itu semua. Tapi, mencukupkan diri dengan upaya tersebut, seraya mengabaikan perjuangan menegakkan khilafah, khawatir kita termasuk pihak-pihak yang berkontribusi melanggengkan derita. Semoga tidak demikian adanya.

KALAU BUKAN KHILAFAH, LALU DENGAN APA LAGI?

Oleh: Ahmad Sudrajat (Khadim Majlis Sirah Shahabat) Yasir bin Amir berangkat meninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui s...